KEKUATAN TAQDIR
H I K M A H
سَـوَ ابِـقُ الْهِمَمِ لاَ تَخـْرِقُ أَسْوَارَ اْلأَقْدَارِ
"Kekuatan himmah-himmah tidak akan mampu mengoyak tirai qadar-qadar."
Syarah :
Pengertiannya adalah : bahwa sekalipun seseorang memiliki himmah yang sangat kuat, namun pencapaian dalam bersuluk itu sudah ditentukan kadarnya, porsinya, dan waktunya. Segala sesuatu sudah ditentukan takdirnya. Bersuluk itu pada intinya adalah berserah diri kepada Allah, pencapaian dalam jalan suluk tidak dapat dipercepat maupun diperlambat.
Hikmah ini menjadi ta’lil atau sebab dari hikmah sebelumnya. Seakan-akan _Mushonnif_ berkata :
Hai murid... keinginan, himmah-mu pada sesuatu, itu tidak ada gunanya, karena himmah yang kuat itu tidak bisa menjadikan apa-apa seperti yang kau inginkan, apabila tidak ada dan bersamaan dengan taqdir dari Alloh.
Hai murid... keinginan, himmah-mu pada sesuatu, itu tidak ada gunanya, karena himmah yang kuat itu tidak bisa menjadikan apa-apa seperti yang kau inginkan, apabila tidak ada dan bersamaan dengan taqdir dari Alloh.
Jadi hikmah ini mengandung arti menentramkan hati murid dari keinginannya yang kuat.
Maulana al-‘Arabi, guru dari guru sufi Maroko yang mengarang komentar atas al-Hikam, yaitu Ibn ‘Ajibah (w. 1808 M), berkata : Jika seseorang yang telah mencapai maqam fana’ (lebur) dalam nama-nama diri Tuhan memiliki kehendak yang kuat terhadap sesuatu, maka sesuatu itu akan terjadi. Sementara orang yang telah mencapai fana’ (lebur) dalam dzat atau diri Tuhan, sebelum ia menghendaki sesuatu, sesuatu itu sudah langsung ada. Orang Jawa bilang: “weruh sakdurunge winarah,” tahu sebelum tahu.
Dengan bahasa yang sederhana, seorang yang arif, bijak, mencapai pengetahuan tentang inti wujud dan ketuhanan, ia bisa mengubah sesuatu dengan kehendaknya. Ia bisa menggerakkan benda-benda di sekelilingnya, seolah-olah benda itu adalah “hamba” yang bisa ia kendalikan dengan kehendaknya sendiri.
Tetapi itu semua terjadi karena kehendak Tuhan, bukan kehendak dia. Kehendak Sang Arif itu tidak berjalan sendiri, melampaui kehendak Tuhan, melainkan berjalan seiring.
Dalam sebuah hadits disebutkan: “Jika Aku (Tuhan) telah menjadikan seorang hamba menjadi kekasih-Ku, maka AKU akan menjadi telinga, mata, tangan dan pendukungnya, apapun yang ia minta, Aku akan memberikan kepadanya.”
Apa pelajaran yang bisa kita petik dari kebijaksanaan Ibn Ata'illah ini ?
Seorang hamba harus berusaha sekeras mungkin untuk bisa mencapai maqam ma’rifat, mengetahui hukum dan inti sesuatu. Orang yang mencapai tahap pengertian ini, akan bisa mengerti kehendak Tuhan, dan kemudian akan berjalan seiring dengan-Nya.
Dalam bahasa sains, jika Anda mengerti hukum alam, maka Anda sama saja dengan mengerti kehendak Tuhan. Anda bisa bekerja seiring dan berbarengan dengan kehendak Tuhan itu.
Anda bisa mengubah sesuatu, bukan dalam kerangka melawan takdir, tetapi justru memanfaatkan takdir untuk kemaslahatan Anda sendiri.
0 Response to "KEKUATAN TAQDIR"
Posting Komentar